DH. Ismail Sitanggang, M.Si, Direktur Visi Aulia Jaya Group, perusahaan yg bergerak di bidang Penerbitan, Percetakan, Event Organizer & Konsultan bisnis. Mantan Ketua Bid. Promosi Kader HMI cabang Ciputat, Ketua Dewan Predium Formasi, Pengurus Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, DPP BISMA dan pengurus KAHMI, kini dipercaya menjadi Wakil Pemimpin Perusahaan Majalah CSR Review, pengurus CFCD DKI Jakarta, BKKKS Jakarta. Selain aktif mengurusi bisnis dan beragam organisasi yang diikutinya, ia juga mulai menekuni karir di bidang training motivasi dan tulis menulis. Suami dari Tety Muhithoh-Mahasiswi Pasca Sarjana UI- ini telah menulis 7 buku & puluhan buku lainnya yang ditulis bersama tim Visi Aulia Jaya dan rekan-rekan bisnisnya. Menurut Pengagum KH. Imam Zarkasyi, Achmad Bakrie, Om William ini, Indonesia akan sejahtera bila banyak pengusahanya. Untuk obsesi tersebut kini ayah tiga putra ini bersama timnya sedang bekerja keras membangun sekolah bisnis bagi tunas wirausaha muda dan UMKM. Yuk bersinergi membangun Indonesia Jaya. Kalau bukan kita siapa lagi...



Selasa, 18 Mei 2010

AWAS VIRUS SUKSES!!


Kendalikan Pikiran dan Tetapkan Tujuan


Dalam kehidupan serba materialistik saat ini, sering kali kita terjebak dan bahkan salah mengukur kualitas kesuksesan seseorang berdasarkan pekerjaaan hari ini. Setiap berkenalan dengan orang baru, pertanyaan yang pertama kali diajukan adalah, "Anda dinas di mana?" Atau, "Apa pekerjaan Anda saat ini?" "Apakah pekerjaan tersebut mampu memuaskan hasrat ekonomi Anda?" dan seterusnya. Singkatnya, manusia modern mulai terjebak pada penuhanan materi dan menjadikan materi sebagai alat ukur kadar kemanusiaan seseorang. Manusia memang mahluk kerja, tetapi menjadikan pekerjaan seseorang sebagai satu-satunya indikator kesuksesan seseorang juga tidaklah bijaksana. Anda ragu dengan kesimpulan tersebut, bacalah kisah berikut ini:

Suatu hari, oleh karena sebuah kendala teknis yang benar-benar force major (darurat), kami pengelola sebuah media terpaksa, mengutus seseorang yang sehari-hari bertugas sebagai office boy di kantor kami untuk menggantikan salah satu wartawan kami yang terlambat masuk kantor karena sesuatu hal, padahal dia harus melakukan liputan kegiatan seorang Menteri. Kepada Office boy tersebut, kami memberikan tugas yang jelas serta peralatan kerja yang lengkap, yakni : sebuah kamera, kartu press serta undangan resmi dari humas departemen tersebut. Agar 'petugas' kami tersebut betul-betul mengetahui tugas barunya, kami bekali dia dengan catatan yang berisi rincian tugasnya, yakni: mendapatkan foto close up sang Menteri serta mengambil press release yang biasanya telah disediakan oleh pejabat humas departemen tersebut. Konsekwensinya, jika kedua tugas tersebut tidak berhasil didapatkannya, maka ia tidak perlu menampakkan batang hidung di kantor, alias jangan kembali, tegas redaktur pelaksana.

Dus, sang 'reporter' dadakan tersebut akhirnya berangkat menuju ke lokasi kegiatan dalam keadaan setengah ragu alias gemetaran. Ia pun meluncur dengan mengendarai motor ke wilayah pinggiran Jakarta, tempat di mana acara tersebut dilaksanakan. Apa yang terjadi pembaca yang budiman?
Sore harinya, tatkala tim redaksi sedang berkumpul untuk mengevaluasi liputan harian, sang 'reporter' dadakan tersebut pulang. Di luar dugaan kami semua, ia menyerahkan kamera serta press release, ia juga berhasil membawa dua tas berisi manual acara juga kaus dan jaket. Tak hanya itu, sang 'reporter' tersebut juga berhasil merekam pidato lengkap sang menteri serta sambutan beberapa tokoh dan dilengkapi dengan wawancara sang menteri yang ia lakukan bersama rombongan wartawan media lain selepas acara tersebut. Singkatnya, bahan baku tulisan yang diperolehnya dalam liputan tersebut benar-benar sempurna. Demikian juga dengan foto hasil jepretannya.

Melihat kinerja nan hebat tersebut, kami tak bisa menyembunyikan kekaguman kami. Bahkan teman-teman merasa bersalah karena terlambat mengenali potensi tersembunyi sang office boy tersebut. Penulis juga menyaksikan bagaimana wajah sumringahnya memancarkan aroma kebahagiaan saat kami berulang-ulang memujinya dengan tulus. Rasa percaya diri yang lama tertimbun oleh stigmatisasi office boy, langsung tumbuh mekar seketika. Ia seperti dilahirkan kembali.

Sejak kejadian tersebut, kami amati, hari-harinya menunjukkan prestasi demi prestasi. Semangat bekerjanya naik 180 derajat dan kualitas hidupnya pun menanjak drastis. Profesinya memang masih tetap sebagai office boy, tetapi ia dan kami, kini berbeda melihat dan memperlakukannya. Kami menyadari bahwa selama ini, ia hanya seorang yang sedang sial nasibnya hingga menjadi office boy, meski ia memiliki potensi dahsyat bagai mutiara terpendam lumpur.

Seiring perjalanan waktu, kini ia memiliki kebiasaan baru : Bila sebelumnya ia lebih banyak duduk dan bergaul dengan sesama office boy, kini ia mulai menjalin relasi dengan awak redaksi. Sekarang ia telah menetapkan tujuan baru dalam hidupnya yakni ingin menjadi fotrografer. Dengan tujuan barunya tersebut, ia hadir ke kantor lebih cepat dan pulang lebih malam hanya untuk memastikan bisa berbincang-bincang dengan tim redaksi. Sejak saat itu ia selalu merayu redaksi agar diberi kesempatan emas kembali untuk melakukan kegiatan serupa. Singkatnya, orang tua paruh baya yang telah puluhan tahun nrimo menjadi office boy tersebut, kini memiliki gairah hidup (passion) yang baru alias terkena virus ”candu sukses”. Kami juga mengetahui beberapa saat kemudian ia telah mengikuti kursus fotografi demi memekarkan impiannya. Ia benar-benar telah kecanduan atas prestasi.

Tiga bulan setelah kejadian tersebut, kami tak punya alasan lagi untuk menolak permintaannya. Kamipun menaikkan jabatannya dari OB menjadi fotografer. Dan seiring dengan tugas barunya tersebut, orang tua paruh baya tersebut telah mendapatkan impiannya sebagai fotografer. Dengan cepat ia belajar dan menyesuaikan diri dengan pekerjaan idamannya, sehingga ialah yang paling siap menerima segala jenis tugas yang paling menantang, yang justru seringkali membuahkan kelezatan. Ketika wartawan senior lainnya mulai bosan dengan pekerjaannya, orang ini justru sedang berpesta ria dengan profesi barunya. Tak heran, ketika seorang seniornya harus dipecat dengan tidak terhormat, sang tokoh ini malah sedang sibuk menorehkan sejumlah prestasi baru. Ketika tulisan ini dipublikasikan, wartawan tersebut telah meliput beberapa kegiatan menteri bahkan sudah sering bersantap makan dengan beberapa tokoh–tokoh penting di republik ini. Wow, luar biasa bukan.

Fakta di atas membuka mata batin penulis; betapa jabatan atau pekerjaan seseorang tak senantiasa paralel dengan kualitas hakikinya. Di dalam sebuah sistem bursa sukses yang belum menerapkan asas merytokrasi dengan baik seperti di Indonesia, dan di mana ijazah pendidikan tinggi tidak selalu paralel dengan kualitas output-nya, terasa amat berlebihan jika menvonis kualitas hakiki seseorang dari jenis profesi yang disandangnya.

Mengendalikan Pikiran
True story di atas mengingatkan penulis akan kisah yang dituturkan oleh Ekchart Tolle, dalam 'The Power of Now' berikut ini.
"Seorang pengemis telah duduk di sisi jalan selama lebih dari 30 tahun. Suatu hari, seorang asing lewat."Punya uang receh, Pak?" gumam si pengemis, secara otomatis menjulurkan topi bassballnya yang sudah lusuh.
"Saya tidak punya apa-apa untuk Anda, "kata si orang asing." Kemudian, ia bertanya: "Apa yang Anda duduki itu?”. "Bukan apa-apa," jawab si pengemis. "Hanya sebuah kotak tua. Saya telah duduk di atas kotak ini sejak dulu. "Pernah melihat isi kotak itu?" tanya si orang asing. "Tidak," kata si pengemis itu. "Apa guna nya? Tidak ada apa-apa di dalamnya."
"Cobalah lihat,” desak si orang asing tersebut. Si pengemis mencoba membuka tutup kotak itu. Dengan keterkejutan, rasa tidak percaya, dan kegembiraan, si pengemis melihat kotak itu di penuhi emas.”

Mengomentari cerita di atas, Mark Viktor Hansen dan Robert G. Allen dalam bukunya 'Cracking the Millionaire CODE: Kunci Untuk Membuka Kekayaan Yang Tercerahkan', mengatakan, bahwa dalam setiap diri kita terdapat "kotak emas" yang masing-masing kita “duduki" dan bahkan lebih banyak daripada hal itu, namun sangat banyak di antara manusia yang tak menyadarinya.

Para ahli personal power dari berbagai sekolah kepribadian internasional malah menyebut potensi manusia yang sudah dimanfaatkan rata-rata baru 3 persen. Berarti ada 97 persen yang disia-siakan. Naif sekali bukan, kalau belum apa-apa kita sudah menganggap diri kita impoten?

Pandangan senada disampaikan Newman -penulis buku '10 Exciting Keys to Success'- "Kecenderungan pesimistis terjadi pada seseorang karena orang tersebut masih dikendalikan pikiran, bukan mengendalikan pikiran. Jadi kendali diri tak berada di tangannya, tetapi di tangan-tangan faktor eksternal yang dengan aktif mempengaruhi otak passifnya. Akibatnya, mereka tak pernah punya kemauan untuk menggali potensi diri, dan cenderung mempercayai saja apa yang dinyatakan otaknya. Orang sukses tak dikendalikan pikiran tetapi mengendalikan pikiran," tegas Newman.

Bila Anda berpikir bahwa Anda tidak berguna dan tidak sukses, maka Anda tidak akan pernah berguna dan menjadi sukses, alias pasrah menghadapi kehidupan seperti kisah si miskin di atas. Sebaliknya, jika Anda berpikir bahwa hidup Anda punya makna dan tugas khsusus yang mampu Anda darma baktikan bagi sesama, maka akan tumbuh sikap dan tindakan serta tekad yang membuat Anda benar-benar berguna dan menjadi sukses sebagaimana si fotrografer baru yang mantan office boy di atas. Jadi, kata kuncinya adalah bagaimana mengendalikan pikiran. Menurut Newman, cara mengendalikan pikiran di antaranya:
1. Membaca. Membaca adalah salah satu cara efektif mengendalikan pikiran. Dengan membaca, pikiran akan terlatih dan berkembang. Dengan membaca, Anda mendapat perbandingan informasi, kritis, inovatif dan kreatif atau meminjam istilah Thomas L. Harison dapat mengubah cara berpikir.
2. Berpikir. Selain membaca, orang bisa mengendalikan pikiran dengan cara berpikir besar dan tidak gampang patah semangat bila gagasan yang bersumber dari pemikirannya dilecehkan. Cara ini akan menumbuhkan semangat juang dan semangat tempur. Musuh terbesar manusia adalah ketakutan, kekhawatiran dan keragu-raguan.
3. Diskusi. Selain pendapat Newman di atas, hemat penulis, Berdiskusi atau berdebat dengan orang lain bisa meningkatkan kreativitas berpikir. Berdebat atau berdiskusi adalah salah satu tradisi keluarga sukses di negara maju dalam membentuk cara berpikir anggota keluarganya.
4. Satu langkah lainnya dalam mengendalikan pikiran adalah dengan menginstal ulang pikiran kita terutama pikiran alam bawah sadar kita. Kenapa? Karena umumnya manusia bertindak berdasarkan alam pikiran bawah sadarnya terutama pada saat situasi genting dan emosional.
5. Bergaul dengan orang–orang yang lebih sukses dan lebih berpengalaman.
6. Dan menetapkan tujuan baru. Khusus untuk poin terakhir ini akan kita kaji lebih mendalam dalam bahasan berikutnya ( Segera terbit dalam buku berjudul: Ayat-ayat sukses ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar